Lokasi : Hagia Sophia, Istanbul Foto : Dokumen Pribadi |
Kuliah di Luar Negeri? Aih, agaknya
hanya impian semata yang terhapus oleh gelak tawa setelahnya. Jangankan
berkuliah di luar negeri, pelajaran kimia saja dari awal masuk SMA jurusan IPA
hingga lulus, enggak ada satupun nilai ulangan kimia yang tuntas. Jangankan
berkuliah di luar negeri, mengikuti pelajaran di kelas saja seminggu hanya
beberapa hari saja. Sisanya? Berkegiatan di luar kelas, seperti lomba, mengurus
organisasi, workshop, atau diundang menjadi pembicara. Soal nilai raport, bukan
sebuah hal yang pantas dibanggakan untuk seorang Billy yang terjebak selama
tiga tahun bersama ilmu alam.
Panggil
saja Billy. Lulusan tahun 2016 dari SMA N 1 Purwokerto jurusan IPA yang sampai
sekarang enggak tahu menahu soal pelajaran Fisika, Biologi, terlebih Kimia. Agaknya
tidak cukup pantas bagi pemuda seperti saya untuk melayangkan sebuah mimpi
berkuliah di luar negeri. Dapet kampus negeri di Indonesia saja, rasanya sudah
bersyukur. Namun beruntungnya, tak ada satupun kampus di Indonesia yang mau
menerima saya sebagai mahasiswa. Contohnya SNMPTN (jalur nilai raport)
jangankan melihat kata-kata “Diterima”, untuk ikut menjadi peserta yang mana
hanya 75% dengan nilai terbaik di sekolah saja saya tidak lolos! Sudah
sepantasnya saya buang jauh jauh mimpi atas almamater kampus unggulan di negeri
ini.
Ditengah
kemelit persiapan untuk mengikuti berbagai jalur tes masuk perguruan tinggi,
ada kesempatan yang singgah. Tak tanggung- tanggung, kesempatan untuk berkuliah
di Turki, GRATIS. Eh, dimana? Turki? Negara penuh padang pasir yang pakai
bahasa arab itu?. Kira – kira begitulah kesalahan fatal sebelum saya
mencintai negeri ini. Bahkan baru mendengar kata ‘beasiswa’ saja, seribu saraf
penolakan dengan gesit memproduksi alasan-alasan pesimis untuk dilontarkan. Perlahan
namun pasti, saya yang tadinya berfikiran negara Turki seperti itu, berubah
perlahan menjadi cinta dengan negaranya.
Ketika
baru mendengar dalam beberapa hari, saya masih menganggap kesempatan yang
singgah sebatas fatamorgana. Namun bagi saya, Allah akan mengabulkan mimpi dan
doa melalui kesempatan yang hadir. Selebihnya? Itu dikembalikan pada usaha yang
kita lakukan untuk mendapatkan hal tersebut.
Turki?
Mengapa harus ke Turki? Hal tersebut seakan kian melingkar diatas kepala
saya pada beberapa saat. Karena saya yang saat itu baru mendengar negaranya
saja, saya pun mencoba mencari tahu. Namun disisi lain, ada beberapa hal yang
memang cocok untuk saya. Kriteria pendaftaran beasiswa ini sangat cocok untuk
saya. Di beasiswa ini, saya tidak perlu menggunakan toefl atau sertifikat
bahasa inggris lainya. Yang terpenting, bisa berkomunikasi dalam bahasa inggris
saat wawancara. Kemudian beasiswa ini lebih melihat seberapa berkualitas orang
tersebut dengan berbagai track recordnya, tidak hanya dengan nilai dikelas saja.
Karena sebagai yang kita tahu, sebagian besar seleksi untuk masuk perguruan
tinggi (S1) di Indonesia hampir semua mengandalkan nilai dan pelajaran di
kelas. Namun, saya bukanlah tipikal pelajar yang doyan belajar materi
eksak di dalam kelas. Maka dari itu, ada sebuah perasaan yang sangat cocok bagi
saya dengan beasiswa ke Turki tersebut.
Karena saya
masih ragu dengan negaranya, saya pun mulai mendalami tentang negara Turki itu
sendiri. Mulai dari membaca blog para awardee, kepoin instagram awardee,
nonton semua youtube tentang PPI dan Turki, hingga seluk beluknya sudah saya
dalami. Bukan pula bermaksud lain, tapi hal ini saya lakukan agar saya mulai
beradaptasi dan terbiasa dengan segala yang berbau Turki. Juga untuk
meningkatkan semangat serta memotivasi diri untuk menjemput mimpi kuliah di
luar negeri.
Tidak
berhenti begitu saja, saya pun mulai ikut berdiskusi dengan grup beasiswa
bersama teman-teman yang akan mendaftar beasiswa yang sama. Sungguh, disitu
saya merasa kerdil diantara saingan saya yang rata-rata berprestasi. Beruntungnya,
di grup tersebut kami berdiskusi dalam proses penginputan data. Sehingga ketika
saya memiliki kekurangan di satu sisi beasiswa, saya bisa mengakali dengan
memaksimalkan aplikasi saya di sisi yang lain.
Ketika
pada akhirnya saya dinyatakan lolos tahap awal dan harus mengikuti interview di
kedutaan besar Turki di Jakarta, saya sangat bersyukur. Setelah berkali-kali
mendapatkan penolakan untuk berkuliah, akhirnya ada satu program yang membuat
saya bisa lolos ke tahap selanjutnya. Dalam kurun waktu seminggu untuk
mempersiapkan, saya berusaha keras untuk berlatih bahasa inggris. Iya, bahasa
inggris. Mimpi mau ke luar negeri, tapi bahasa inggris saya pun masih
gelagapan. Segala artikel tentang persiapan wawancara sudah habis dibaca,
konsultasi dan sharing pun saya lakukan mulai dari awardee beasiswa
Turki hingga teman - teman awardee LPDP. Sebagian dari mereka optimis
jika saya akan mendapatkan beasiswa ini. Namun sejauh saya berusaha, masih
mendapatkan masalah tentang komunikasi bahasa inggris yang mana akan menjadi
bahasa yang digunakan dalam interview nanti.
Baiklah,
saya berusaha berfikiran positif untuk menghadapi hal ini sebagai tantangan.
Entah bagaimana pada akhirnya akan terjadi, yang terpenting saya telah berusaha
dengan maksimal. Mulai dari berlatih wawancara dengan teman yang pandai
berbahasa inggris, menyiapkan mind maping, sampai berlatih berbicara bahasa
inggris dengan teman asing. Hingga saat wawancara pun rupanya pertanyaan yang
dilontarkan pada tiap pendaftar sangat beragam. Mulai dari kehidupan pribadi,
keluarga, motivasi, turki, perkuliahan, sampai pengetahuan umum. Rasanya lemas
sudah setiap kali mendengar celotehan teman – teman selepas melakukan
wawancara. Ada yang senang, sedih, bahkan putus asa karena tidak bisa menjawab
pertanyaan. Ketika bagian saya dalam berwawancara, senyum simpul pun mengembang
sepeninjakan kaki saya setelah menyelesaikan wawancara. Saya sangat beruntung,
karena saya bisa mengendalikan alur wawancara sesuai yang saya inginkan. Ketika
yang lain ditanya perihal yang sulit, justru saya bisa mengendalikan wawancara
untuk menonjolkan hal positif yang saya miliki. Alhamdulillah J
Menanti
mendapatkan pengumuman beasiswa tersebut pun tidak semudah yang saya kira.
Menanti datangnya email pengumuman yang entah kapan membuat hati saya
bergejolak tidak percaya diri. Ketika hampir seluruh teman saya telah memulai
ospek di perguruan tinggi bergengsi, saya masih harus menjawab dari setiap
pertanyaan yang datang tentang status saya yang belum mendapatkan kuliah—dan
bahkan saya sudah menyusun rencana selama setahun jika saya tidak mendapatkan
kuliah nanti.
Tuhan
memang adil. Ketika dada saya sudah sesak oleh berbagai pertanyaan yang datang,
email penerimaan kalau saya lolos pun datang juga. Saya diterima di Ege
University jurusan Jurnalistik yang bahkan merupakan pilihan pertama saya saat
mendaftar. Ketika teman teman saya memutuskan untuk abroad saat S2
nanti, saya justru sangat bersyukur bisa merasakan pengalaman ini lebih dahulu
di masa S1 saya. Ketika mimpi saya saat itu sangat ingin ke luar negeri—entah
untuk liburan ke negara tetangga sekalipun, namun mustahil agaknya—rupanya
terwujud bahkan kali pertama saya naik pesawat ke luar negeri tidak hanya untuk
jalan-jalan melainkan dengan tiket gratis untuk menempuh pendidikan ke luar
negeri.
Saya percaya, atas segala kerja giat saya, melangkah bersama passion untuk merawat masa depan saya baik-baik. Disini, di Turki, saya jadikan sebagai permulaan untuk memperluas relasi yang mengglobal. Tak sia-sia memang kegemaran saya dalam berkegiatan membawa saya untuk menuntut ilmu. Bahkan baru satu bulan saya berada di Turki, saya sudah berkesempatan mengikuti acara Social Impact Summit yang diadakan di Istanbul. Bukan sekedar belajar, namun melatih diri untuk membentuk karakter yang kuat sebagai bekal masa depan. Bagi saya, ini tentang sebuah perjuangan, atas kesempatan yang hadir dan usaha keras yang terbayar.
NB : Tulisan ini juga dimuat di Inspirasi Dunia PPI Dunia