Jumat, 10 Maret 2017

Tentang Sebuah Perjuangan


Lokasi : Hagia Sophia, Istanbul
Foto : Dokumen Pribadi

Kuliah di Luar Negeri? Aih, agaknya hanya impian semata yang terhapus oleh gelak tawa setelahnya. Jangankan berkuliah di luar negeri, pelajaran kimia saja dari awal masuk SMA jurusan IPA hingga lulus, enggak ada satupun nilai ulangan kimia yang tuntas. Jangankan berkuliah di luar negeri, mengikuti pelajaran di kelas saja seminggu hanya beberapa hari saja. Sisanya? Berkegiatan di luar kelas, seperti lomba, mengurus organisasi, workshop, atau diundang menjadi pembicara. Soal nilai raport, bukan sebuah hal yang pantas dibanggakan untuk seorang Billy yang terjebak selama tiga tahun bersama ilmu alam.

Panggil saja Billy. Lulusan tahun 2016 dari SMA N 1 Purwokerto jurusan IPA yang sampai sekarang enggak tahu menahu soal pelajaran Fisika, Biologi, terlebih Kimia. Agaknya tidak cukup pantas bagi pemuda seperti saya untuk melayangkan sebuah mimpi berkuliah di luar negeri. Dapet kampus negeri di Indonesia saja, rasanya sudah bersyukur. Namun beruntungnya, tak ada satupun kampus di Indonesia yang mau menerima saya sebagai mahasiswa. Contohnya SNMPTN (jalur nilai raport) jangankan melihat kata-kata “Diterima”, untuk ikut menjadi peserta yang mana hanya 75% dengan nilai terbaik di sekolah saja saya tidak lolos! Sudah sepantasnya saya buang jauh jauh mimpi atas almamater kampus unggulan di negeri ini.
           
Ditengah kemelit persiapan untuk mengikuti berbagai jalur tes masuk perguruan tinggi, ada kesempatan yang singgah. Tak tanggung- tanggung, kesempatan untuk berkuliah di Turki, GRATIS. Eh, dimana? Turki? Negara penuh padang pasir yang pakai bahasa arab itu?. Kira – kira begitulah kesalahan fatal sebelum saya mencintai negeri ini. Bahkan baru mendengar kata ‘beasiswa’ saja, seribu saraf penolakan dengan gesit memproduksi alasan-alasan pesimis untuk dilontarkan. Perlahan namun pasti, saya yang tadinya berfikiran negara Turki seperti itu, berubah perlahan menjadi cinta dengan negaranya.
           
Ketika baru mendengar dalam beberapa hari, saya masih menganggap kesempatan yang singgah sebatas fatamorgana. Namun bagi saya, Allah akan mengabulkan mimpi dan doa melalui kesempatan yang hadir. Selebihnya? Itu dikembalikan pada usaha yang kita lakukan untuk mendapatkan hal tersebut.

Turki? Mengapa harus ke Turki? Hal tersebut seakan kian melingkar diatas kepala saya pada beberapa saat. Karena saya yang saat itu baru mendengar negaranya saja, saya pun mencoba mencari tahu. Namun disisi lain, ada beberapa hal yang memang cocok untuk saya. Kriteria pendaftaran beasiswa ini sangat cocok untuk saya. Di beasiswa ini, saya tidak perlu menggunakan toefl atau sertifikat bahasa inggris lainya. Yang terpenting, bisa berkomunikasi dalam bahasa inggris saat wawancara. Kemudian beasiswa ini lebih melihat seberapa berkualitas orang tersebut dengan berbagai track recordnya, tidak hanya dengan nilai dikelas saja. Karena sebagai yang kita tahu, sebagian besar seleksi untuk masuk perguruan tinggi (S1) di Indonesia hampir semua mengandalkan nilai dan pelajaran di kelas. Namun, saya bukanlah tipikal pelajar yang doyan belajar materi eksak di dalam kelas. Maka dari itu, ada sebuah perasaan yang sangat cocok bagi saya dengan beasiswa ke Turki tersebut. 

Karena saya masih ragu dengan negaranya, saya pun mulai mendalami tentang negara Turki itu sendiri. Mulai dari membaca blog para awardee, kepoin instagram awardee, nonton semua youtube tentang PPI dan Turki, hingga seluk beluknya sudah saya dalami. Bukan pula bermaksud lain, tapi hal ini saya lakukan agar saya mulai beradaptasi dan terbiasa dengan segala yang berbau Turki. Juga untuk meningkatkan semangat serta memotivasi diri untuk menjemput mimpi kuliah di luar negeri.
  
Tidak berhenti begitu saja, saya pun mulai ikut berdiskusi dengan grup beasiswa bersama teman-teman yang akan mendaftar beasiswa yang sama. Sungguh, disitu saya merasa kerdil diantara saingan saya yang rata-rata berprestasi. Beruntungnya, di grup tersebut kami berdiskusi dalam proses penginputan data. Sehingga ketika saya memiliki kekurangan di satu sisi beasiswa, saya bisa mengakali dengan memaksimalkan aplikasi saya di sisi yang lain.
            
Ketika pada akhirnya saya dinyatakan lolos tahap awal dan harus mengikuti interview di kedutaan besar Turki di Jakarta, saya sangat bersyukur. Setelah berkali-kali mendapatkan penolakan untuk berkuliah, akhirnya ada satu program yang membuat saya bisa lolos ke tahap selanjutnya. Dalam kurun waktu seminggu untuk mempersiapkan, saya berusaha keras untuk berlatih bahasa inggris. Iya, bahasa inggris. Mimpi mau ke luar negeri, tapi bahasa inggris saya pun masih gelagapan. Segala artikel tentang persiapan wawancara sudah habis dibaca, konsultasi dan sharing pun saya lakukan mulai dari awardee beasiswa Turki hingga teman - teman awardee LPDP. Sebagian dari mereka optimis jika saya akan mendapatkan beasiswa ini. Namun sejauh saya berusaha, masih mendapatkan masalah tentang komunikasi bahasa inggris yang mana akan menjadi bahasa yang digunakan dalam interview nanti.
           
  Baiklah, saya berusaha berfikiran positif untuk menghadapi hal ini sebagai tantangan. Entah bagaimana pada akhirnya akan terjadi, yang terpenting saya telah berusaha dengan maksimal. Mulai dari berlatih wawancara dengan teman yang pandai berbahasa inggris, menyiapkan mind maping, sampai berlatih berbicara bahasa inggris dengan teman asing. Hingga saat wawancara pun rupanya pertanyaan yang dilontarkan pada tiap pendaftar sangat beragam. Mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, motivasi, turki, perkuliahan, sampai pengetahuan umum. Rasanya lemas sudah setiap kali mendengar celotehan teman – teman selepas melakukan wawancara. Ada yang senang, sedih, bahkan putus asa karena tidak bisa menjawab pertanyaan. Ketika bagian saya dalam berwawancara, senyum simpul pun mengembang sepeninjakan kaki saya setelah menyelesaikan wawancara. Saya sangat beruntung, karena saya bisa mengendalikan alur wawancara sesuai yang saya inginkan. Ketika yang lain ditanya perihal yang sulit, justru saya bisa mengendalikan wawancara untuk menonjolkan hal positif yang saya miliki. Alhamdulillah J
           
  Menanti mendapatkan pengumuman beasiswa tersebut pun tidak semudah yang saya kira. Menanti datangnya email pengumuman yang entah kapan membuat hati saya bergejolak tidak percaya diri. Ketika hampir seluruh teman saya telah memulai ospek di perguruan tinggi bergengsi, saya masih harus menjawab dari setiap pertanyaan yang datang tentang status saya yang belum mendapatkan kuliah—dan bahkan saya sudah menyusun rencana selama setahun jika saya tidak mendapatkan kuliah nanti.
            
Tuhan memang adil. Ketika dada saya sudah sesak oleh berbagai pertanyaan yang datang, email penerimaan kalau saya lolos pun datang juga. Saya diterima di Ege University jurusan Jurnalistik yang bahkan merupakan pilihan pertama saya saat mendaftar. Ketika teman teman saya memutuskan untuk abroad saat S2 nanti, saya justru sangat bersyukur bisa merasakan pengalaman ini lebih dahulu di masa S1 saya. Ketika mimpi saya saat itu sangat ingin ke luar negeri—entah untuk liburan ke negara tetangga sekalipun, namun mustahil agaknya—rupanya terwujud bahkan kali pertama saya naik pesawat ke luar negeri tidak hanya untuk jalan-jalan melainkan dengan tiket gratis untuk menempuh pendidikan ke luar negeri.
            
Saya percaya, atas segala kerja giat saya, melangkah bersama passion untuk merawat masa depan saya baik-baik. Disini, di Turki, saya jadikan sebagai permulaan untuk memperluas relasi yang mengglobal. Tak sia-sia memang kegemaran saya dalam berkegiatan membawa saya untuk menuntut ilmu. Bahkan baru satu bulan saya berada di Turki, saya sudah berkesempatan mengikuti acara Social Impact Summit yang diadakan di Istanbul. Bukan sekedar belajar, namun melatih diri untuk membentuk karakter yang kuat sebagai bekal masa depan. Bagi saya, ini tentang sebuah perjuangan, atas kesempatan yang hadir dan usaha keras yang terbayar.

NB  : Tulisan ini juga dimuat di Inspirasi Dunia PPI Dunia

Jumat, 30 September 2016

Ngobrol bareng Desi Anwar di Trans TV


Seminggu penuh aku stay di Jakarta untuk ngurus visa. Ngurusnya sehari doang sih, cuma karena kepotong weekend jadilah visa baru bisa diambil setelah beberapa hari. Selain karena rumah omku jauh di Cikarang, maka kuputuskan untuk stay di Jakarta sebagai nomaden. Haha. Bener lho, selama seminggu di Jakarta, aku numpang tidur di 3 teman berbeda. Terimakasih ya gengs! hehe..

Sesuai jadwal, visaku bakal jadi hari senin. setelah hari senin datang ke Kedubes, ternyata visaku belum jadi. padahal sudah lama stay di Jakara dan harus cepet pulang untuk packing. Jadilah terpaksa harus tetep stay di Jakarta lagi satu malam di kosan teman.  Sedih, kesel, karena rencana untuk pulang akhirnya batal karena visa belum jadi. tapi aku tetep bersyukur dan percaya sama rencana Allah.

Minggu, 06 Maret 2016

Bukan Sebuah Perpisahan

Bukan pula sebuah perpisahan rumit
Namun labuhnya menggertak hati
Sedikit saja melangkah pada keabadian
Meskipun aku tahu, ini hanya fana
Yang kau sendiri-dan aku tak tahu kapan harus berakhir